Custom Search

politik kekuasaan kampus

Menginjakkan kaki didunia kampus, berarti siap menghadapi konsekuensi yang akan diterima dari setiap keputusan yang akan membawa kaki ini akan melangkah. Dimana dunia kampus dapat diibaratkan laksana hutan rimba, yang dijejali oleh penghuni-penghuninya yang mempunyai kemampuan intelektual yang sungguh menakjubkan, kapan dan dimana saja dapat menjebak langkah ini kedalamnya kekuatan komunitas kelompoknya (strength of group community) dengan berbagai cara, baik itu dilakukan secara formal hingga menggunakan siasat tipu muslihat. Lalu bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari hal tersebut? Tak ada jawaban yang pasti, namun terkadang sifat apatis mahasiswa tlah terbukti mampu menghindari semua godaan tersebut. tapi ingat, itu bukanlah solusi terbaik dengan hanya mampu menjadi seorang penonton sejati. Mungkin yang kita perlukan hanyalah satu, yaitu sebuah petunjuk arah (kompas) yang dapat menunjukkan kemana kaki akan melangkah untuk keluar dari rimba tersebut sehingga tidak terjebak didalamnya, namun terkadang usaha tersebut menjadi sia-sia saat bujuk rayunya telah membutakan mata ini untuk menggapai kamuflase kemegahan yang dimilikinya, salah satunya adalah politik kekusaan kampus (politics power of campus), yang selalu dilengkapi oleh paket popularitas dan otoritasnya untuk berkuasa, namun hal itu juga yang dapat menjebak kita dalam kemelut yang tak kunjung selesai hingga kepalan tangan yang berbicara. Itulah sekilas gambaran kehidupan dunia kampus yang selalu menuntut setiap individunya untuk bersikap netralitas afektif dalam menilai dan menentukan pilihannya.

Arena percaturan politik, memang tidak hanya terjadi pada tingkatan Negara atau pemerintahan saja, lingkungan kampus pun dapat menjadi sebuah replika dari dunia politik yang sesungguhnya, mahasiswa sebagai politikus kampus pun tak kalah hebatnya dengan sepakterjang para politikus bangsa ini, yang saling berebut kekuasaan demi sebuah jabatan, kekuasaan dan popularitas yang kelak akan memperkaya diri mereka sendiri. Panasnya suhu atmosfer politik kampus kian hari akan semakin meningkat sejalan dengan mendekati detik-detik masa pemilihan raya mahasiswa. Kondisi ini menjadi sebuah pemandangan yang menarik untuk diamati, apabila dengan secara jelas dapat kita saksikan gambaran baik buruknya ajang perebutan kekuasaan politik mahasiswa (power of student politics) tersebut, sehingga terpancar jelas arena pertarungan dan permainan siasat politik yang dimainkan oleh para kaum intelektual mahasiswa, baik yang kasat mata maupun yang tidak??

pendidikan tentang politik memang sebaiknya diketahui sejak dini, apalagi bagi generasi muda seperti mahasiswa, namun mengapa politik kampus yang dapat disebut juga sebagai replika dunia politik sesunggunya tersebut, selalu mencerminkan hal-hal yang negative dari sisi permainan politik, sehingga tidak terjadi sebuah balance proporsi pada arena percaturan politik kampus. Pergulatan Politik sangat identik dengan perebutan kekuasaan antara kelompok atau golongan, yang cenderumg menghalalkan segala cara guna memperoleh sebuah otoritas kamuflase.
Meminjam Max Horkheimer dari Mazab Frankfurt tentang rasio dan rasionalitas (Eclipse of Reason, 2004-Continuum International Publishing Group Academy), pendidikan membuat kaum terpelajar mengadopsi penalaran subyektif (subjective reasoning) dalam berpikir dan bertindak dengan "hanya mempertimbangkan situasi dan normanya sendiri". Dalam penalaran subyektif, fungsionalitas menjadi ukuran apakah suatu gagasan dan tindakan itu logis dan dapat diterima atau tidak. Merunut konsep Horkheimer, pendidikan semestinya menumbuhkan penalaran obyektif (objective reasoning), prinsip universalitas sebagai patokan cara berpikir dan bertindak yang mengatasi lokalitas, identitas, dan kepentingan pribadi/kelompok. (Agus Suwignyo, Pendidikan Dan Pelibatan Politik, http://www.unisosdem.org/). indikator ataupun batasan tentang konsep kebenaran politik kampus yang selama ini digunakan oleh mahasiswa sangatlah beranekaragam dan tidak mutlak sifatnya, karena masih dipengaruhi oleh factor-faktor idealisme mahasiswa baik itu yang bersifat individu maupun kelompok. Dapat diketahui, bahwa sejumlah konflik yang terjadi antar mahasiswa dalam lingkup student Governance di perguruan tinggi salah satu penyebabnya adalah karena perebutan kekuasaan politik kampus (politics power of campus) oleh segelintir elit politik mahasiswa, yang akan terus dan terus bertikai saling memperebutkan sebuah otoritas kamuflase guna mempertahankan keberlangsungan rezimnya masing-masing. Sebagian mahasiswa sampai saat ini masih belum dapat memandang sebuah perbedaan sebagai lahirnya demokrasi, baik itu berupa pendapat, prinsip ataupun perbedaan persepsi dalam kancah politik.
Konsepsi politik kekuasaan seperti yang diutarakan oleh seorang filsuf dari negeri Florence yaitu machiavelli yang mengutarakan teorinya dalam salah satu karyanya yang berjudul IlPrincipe (politik kekuasaan). ia mengemukakan apa yang nyata-nyata harus dilakukan oleh seorang penguasa untuk merebut, mempertahankan, dan menghindari hilangnya kekuasaan dengan menggunakan segala cara. konon buku ini menjadi sebuah kitab suci/pegangan oleh para dictator dunia, mulai dari napoleon hingga para penguasa dictator eropa pada Perang Dunia II, seperti Stalin dan Hitler. Konsep-konsep kekuasaan politik yang diutarakan oleh machevelli, secara sadar atau tidak telah diadopsi dan mulai diterapkan kembali oleh para kaum intelektual kampus pada masa ini, sebagaimana trik-trik yang mereka gunakan untuk memperoleh dukungan, mulai dari kampanye terselubung, mobilisasi massa pendatang baru didunia kampus, melakukan lobi-lobi antar elite politik, konspirasi hingga cara-cara yang tidak sehat untuk mempertahankan sebuah rezim dalam student governance telah dipraktekkan.

Sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan machiavelli dalam politik kekuasaannya, Konsep hegemoni Menurut Gramsci, di dalam Selections From Prison Notebooks (1991) konsep 'hegemoni' tidak hanya berkaitan dengan dominasi politik, berupa 'kekuatan' (force), tetapi juga dengan dominasi lewat budaya, termasuk dominasi bahasa. Di dalam sebuah sistem kekuasaan tidak hanya diperlukan “kekuatan”, tetapi diperlukan juga 'penerimaan publik' (public consent) yang diperoleh lewat mekanisme kepemimpinan kultural, termasuk kepemimpinan bahasa. (Yasraf Amir Piliang ; Bahasa, Politik, Dan Nasionalisme) sehingga tak heran kini mahasiswa untuk mempermudah tujuan-tujuan politiknya cenderung mengedepankan kemampuan retorika massa, yang bila diperhatikan secara seksama seperti sebuah mantra yang dapat membuat kita hanyut didalam pengaruhnya. Sungguh cara yang sangat mengerikan bila setiap saat kita disuguhi doktrin-doktrin yang kadang belum terbukti kebenarannya, namun dapat mempengaruhi pola pikir kita dan cenderung bersifat Aktivitas subversive yaitu gerakan politik yang dianggap sebagai gangguan dalam arti mempunyai tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah, dengan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan hokum (Prof. Dr. Soejono S. Kamus Sosilogi)

Bila kembali melihat tingginya mobilitas atmosfer politik dalam dunia kampus, dapat diketahui pemilihan raya dijadikan sebagai ajang unjuk gigi kekuatan politik segelintir individu, kelompok ataupun organisasi mahasiswa, baik itu yang terjadi dalam lingkup jurusan, fakultas maupun universitas. mahasiswa yang ingin mendapatkan posisi terpandang dalam strata organisasi mahasiswa saling berlomba-lomba untuk menarik simpati sebanyak-banyaknya, khususnya yang menjadi objek sasaran mereka adalah para kaum proletar kampus, dimana cenderung bersifat apatis dan netral dalam menyikapi carut-marutnya dinamika politik kampus yang terjadi mengapa mereka sangat dibutuhkan?, karena sebagian besar dari kaum proletar kampus tersebut tidak memiliki sandaran berlabuh guna memberikan hak suaranya. Karena itu kemampuan mobilisasi dan retorika massa sangat dibutuhkan dalam hal ini, mereka saling meyakinkan satu sama lain, bahwa pilihan untuk mereka adalah pilihan yang terbaik, terkadang seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam hal inisemua cara dapat dihalalkan, mulai dari siasat menghasut, mencela, sikut menyikut, strategi penyebaran pamphlet kaleng (tanpa ada nama/status tak jelas), Lobi-lobi dengan para petinggi mahasiswa, hingga permainan black campaign menjadi pemandangan yang biasa pada saat itu, mereka saling menjatuhkan satu sama yang lain hanya untuk merebutkan sebuah podium sang jawara elite kampus, yang kelak akan berkuasa dengan kebijakan-kebijakannya selama setahun kedepan, tanpa mengetahui apa hakikat dari tanggung jawab yang diembannya tersebut.

Ironis memang apabila mahasiswa kini hanya terfokus pemikirannya pada politik kampus saja, bagaimana dengan tridarma perguruan tinggi yang selama ini menjadi semboyan, yang harus dicapai oleh setiap mahasiswa sebagai indikator layaknya seseorang disebut dengan kata “mahasiswa, kaum intelektual muda, agent of chance dll”???. Terkadang mereka terlalu asyik bermain-main dengan politik kampus, hingga ada sebagian dari para penghuni perguruan tinggi tersebut yang lupa akan kewajibannya sebagai basis terdepan dalam menyuarakan aspirasi masyarakat yang selama ini telah tertindas oleh tangan-tangan para penguasa politik yang bermental “tempe” . Selain itu perebutan kekuasaan yang tidak sehat dikampus telah menjadi budaya yang terus dilestarikan dan selalu dipertahankan sejak dahulu hingga saat ini.

Teringat pertunjukkan ketoprak humor, setiap orang mempunyai peran dan tugasnya masing-masing dalam menjalankan misinya, dimana tujuan mereka hanyalah satu, yaitu bagaimana menghibur para penontonnya dengan tingkah laku konyol mereka. Wajar saja apabila kelak mahasiswa yang akan duduk dibangku birokrat bangsa ini, akan lebih lihai lagi memainkan peran politiknya dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan individu dan kelompoknya. Ini hanyalah sepintas gambaran dari politik kekuasaan kampus, yang menarik untuk diamati dan lebih menarik untuk dikritisi….


22 Februari 2006, 00.30 wib, Bandar Lampung

1 komentar:

Cadina Family mengatakan...

artikel ini snagt membantu dalam melengkapi tugas saya. mohon doanya